Kamis, 09 April 2015

Goa Cikenceng, pemandangan didalam perut bumi

16 Oktober 2011
Perjalanan kali ini merupakan inisiatif dari satu orang anggota lawalata untuk menelusuri goa. Penelusuran ini diawali dengan memilih kawasan goa mana yang akan kita turuni nantinya. Pertama – tama kita mempunyai ide akan mencoba mengekplor kembali goa – goa yang berada di ciampea karena ada dua anak SMA yang mau ikut untuk penelusuran goa. Pertimbangannya karena anaknya masih SMA kami memutuskan memilih ciampea, selain tempatnya dekat akses menuju sampai ciampea juga mudah. Pada saat mempersiapkan barang, sispala dari sma kornita (wapala) membatalkan untuk ikut caving ke ciampea. Setelah mendengar kabar batal, kami bertiga memutuskan untuk pergi ke goa yang berada di citeurep (desa tajur).
Persiapan alat – alat caving pun dimasukkan kedalam tas, seperti harness, carabiner, webbing dll. Setelah peralatan safety procedure siap, kami berangkat dari sekred lawalata jam 00.00 menuju citeurep. Perjalanan menuju base camp linggih alam, sempat tertunda dikarenakan kita nyasar menuju arah cilengsi dan sampai pos pukul 03.00.
17 Oktober 2011
Esok harinya, 2 anak wapala menyusul kami dan sampai basecamp jam 09.30. Setelah semua tim berkumpul, kami mendiskusikan dengan mapala gunadarma goa mana yang akan kita ekplore. Mapala gunadarma yang sudah lama mengekplore goa – goa di tajur menyarankan ke goa cikenceng karena goa ini merupakan goa horizontal dan didalamnya terdapat 2 air terjun.
Tim berangkat dari base camp jam 12 siang, dan suasana di sekitar goa cukup panas. Lokasi ini merupakan kawasan karst dan di kawasan ini pula terdapat penambangan kapur oleh inducement. Perjalanan trekking menuju goa cukup lah panas, baju yang kita pakai basah oleh keringat selama perjalanan. Menuju mulut goa, kita disambul oleh ular hijau yang bergelantungan di ranting pohon. Sebelum memasuki goa, kita mengusir ular dengan tongkat supaya saat masuk goa tidak terganggu oleh ular.
Setelah ular pergi, satu per satu dari kita memasuki mulut goa. Ekplore dimulai pukul 1 siang dan ditargetkan untuk kembali pukul 4 sore. Mulut goa cikenceng yang sempit, mengharuskan kita untuk melenturkan tubuh mengikuti morgologi dari bentuk goa tersebut. Perasaan pertama masuk goa cikenceng adalah udara yang sejuk. Udara yang sejuk ini dipengaruhi oleh sitem per goannya yang terdapat aliran arus, sehingga terdapat aliran udara yang sejuk. Ekplore dimulai pukul 1 siang dan ditargetkan untuk kembali pukul 4 sore. Memasuki lorong – lorong goa kita terkadang harus merangkak, berjalan kayak kepiting, dan kadang harus memakai webbing.
30 menit perjalanan, kami menemukan air terjun pertama dengan ketinggian sekitar 4 meter. Untuk menaikinya kita harus memanjat terlebih dahulu. Setelah satu orang sampai di atas, langsung pasang pengaman dengan webbing untuk mempermudah menaikinya. Jalur yang licin, kadang membuat tim harus saling bantu membantu terkadang harus menariknya dan terkadang harus menaiki punggung dari salah satu tim. Air terjun didalem goa berbeda dengan yang biasa kita liat biasanya. Airnya tidak terlalu deras dibandingkan dengan air terjun di gunung. Di goa air terjunnya cukup unik, karena kita bisa melihat batu batuan stalakmit disekitarnya selain itu keindahannya jadi terasa berbeda karena didadalam perut buni terdapat juga air terjun. Jarak air terjun pertama dan kedua tidak berjauhan sekitar 15 menit dan ketingginannya tidak jauh berbeda.
Pukul 15.00, kita beristirahat dan memakan santap siang. Menu kali ini adalah nasi tongkol masakan rumah. Cita rasa makan di goa berbeda ketika makan di warteg ataupun restoran mewah, di goa kita dapat merasakan nikmtanya makanan dengan suasana gelap gulita.
Istirahat selesai, kami pun kembali lagi ke mulut goa. Sesampai di mulut goa, kita menemukan kembali ular yang tadi saat masuk goa. Perasaan saya saat itu tidak enak, karena ular yang sama menunggu di mulut goa, dan tanpa tujuan yang jelas. Setelah ular di usir kamo keluar goa sekitar pukul 16.00 sore.
“Hanya ada keindahan di kegelapan. Tak lain GOA”

Sikunir, si golden sunrise

Sikunir, bisa dikatakan bukit atau gunung. terserah mau bilang apa. sikunir terletak di dtaran tinggi dieng. saya menyebutnya dengan bukit sikunir. mencapai puncak sikunir, dari pos bawah membutuhkan waktu sekitar 30 menit. jalannya tidak terlalu terjal, dan sudah jelas. jalurnya sudah seperti tangga, sudah dikelola dengan baik.

ada yang bilang, desa terakhir sikunir merupakan desa tertinggi di pulau jawa. desa ini juga mempunyai julukkan golden sunriser nya Asia Tenggara. Saya mencoba untuk menikmati sunrise di puncak sikunir ini. puncakkannya cukup luas, dan tidak terhalang oleh pohon sehingga bisa langsung melihat matahari terbit. selain itu kita juga bisa melihat dari puncakkan gunung lainnya, seperti gunung sindoro atau sumbing.


AHHH, INI NERAKA ATAU SURGA PAPANDAYAN




“Jika Bandung terkenal dengan Paris Van Java,Aceh dengan Serambi Mekkahnya maka Garut mempunyai julukan yang tidak kalah, yaitu Swiss Van Java. Keindahan gunung, alam, danau, dodolnya dan wanita nya, menjadikan Garut sebagai 'Swiss' dari Jawa.” Begitulah kata yang saya kutip dari cerita teman
20 juni 2014, kami bersepuluh yaitu saya, timbul, fajar, kemal, ani, batari, novi, ratna, krupuk dan momon mendaki gunung papandayan. Petualangan ini dimulai dari kampung rambutan. Sesampai di kampung rambutan, kami langsung naek bus jurusan garut. Bus ini lumayan ramai, ditambah rombongan kami yang jumlahnya cukup banyak. Busnya bernama karunia bakti. Cukup lama kami menunggu bus berangkat dari terminal kampung rambutan. Pengamen, orang jualan makanan maupun aksesoris dan pengemis saling bergantian masuk bus. Kami bersepuluh sebagian besar belum mengenal satu sama lain, ada yang dari Palembang, ada juga satu jurusan di perkuliahan tetapi beda angkatan. Didalam bus ini kami saling kenalan dan becanda. Suasana dari rombongan kami cukup ramai. Kejadian yang saya ingat waktu itu, ada pengamen yang masuk bus dan kami becanda sehingga suara kami cukup bising. Pengamennya mendatangi rombongan kami, dan marah enggak jelas karena tidak dikasih uang. Kata pengamennya, waktu nyanyi berisik, giliran diminta uang pada diem. Hahahaha. Ini seperti sambutan dari ibu kota, pesannya “Jakarta keras, jangan macem – macem. Setelah itu bus kami berangkat dari terminal rambutan pukul 20.45 dan sampai terminal Guntur pukul 01.30.
Sesampai di terminal Guntur, kami sarapan dan packing ulang barang bawaan. Perjalanan selanjutnya kami menaikki angkot menuju pertigaan pos papandayan. Dipertigaan pos ini dilanjutkan naek pick up menuju pos papandayan. Satu pick up bias berisi sampai sekitar 14 orang pendaki. Lumayan sesak isi pick up ini, ditambah barang bawaan kami. Jalan menuju pos cukup rusak, banyak lubang besar selama perjalanan. Walaupun jalannya rusak, mobil pick up nya tetap berjalan cukup kencang. Mobil serasa gempa, bergoyang – goyang dan pantat kami cukup sakit akibat jalan yang rusak. Terkadang kalau ban mobil selip, kami harus turun dan mendorongnya untuk tetap jalan. Jarak dari pertigaan menuju pos cukup jauh, dan menyiksa pantat kami. Haha. Lama perjalanan dari pertigaan menuju pos pendakian sekitar satu jam.
21 juni 2014, kami memulai pendakian pukul 05.30 WIB dengan target camp pertama di pondok salada. Trek menuju pondok salada cukup landai, tidak terlalu curam. Setengah jam jalan dari pos, kita akan melewati kawah yang masih aktif. Asap kawah baunya cukup kuat, kalau tidak kuat bisa membawa masker. Melewati kawah, kita akan banyak melihat asap yang keluar dari celah batu dan aliran sungai di sepinggir jalan. Perjalanan melewati kawah menuju pondok salada, trek yang dilewati jalan berbatu terkadang juga menyebrangi sungai. Sesampai di pondok salada sekitar pukul 08.00 WIB. Kami langsung mendirikan tenda, dan memasak.
Hutan Mati….Tegal Alun
Pondok salada merupakan lapangan yang cukup luas, dan disisni bisa mendirikan lebih dari 100 tenda. Selain itu, di pondok salada juga terdapat sumber mata air yang dapat digunakan untuk minum maupun memasak. Siangnya kami menuju hutan mati sekitar pukul 13.30. dari pondok salada ke hutan mati tidak membutuhkan waktu lama, 30 menit. Hutan mati merupakan, pepohonan yang sudah mati, tidak berdaun, dan gersang. Pemandangan di hutan mati, kami bisa melihat kawah papandayan dari atas sini. Yahh, berada disini, seperti berada di planet lain. Tidak ada pohon yang subur, semuanya mati.
Keesokan harinya kami menuju Tegal alun, berangkat dari pondok salada 07.00 WIB. Perjalanan menuju pondok salada membutuhkan waktu 2 jam. Jalannya cukup terjal, berbeda dengan trek sebelumnya. Sesampai di Tegal Alun, kita akan melihat pemandangan yang berebda dengan hutan mati. Edelweiss tersebar di sepanjang tegal alun. Suasanya disisini mengingatkan sayan dengan mandalawangi pangrango.
Hutan mati dan Tegal Alun. Dua tempat yang akan kita temui di papandayan. Ketika disana, yang saya ingat waktu itu adalah gambaran neraka dan surga. Seperti kata guru saya, gambaran neraka adalah hutan yang tandus, gersang dan panas. Berbeda dengan tegal alun, disini kita bisa melihat pemandangan yang cukup indah, bunga edelweiss di sepanjang jalan. Berbicara surga dan neraka, adalah hari esok setelah kematian. Resiko kematian dalam pendakian selalu ada.Papandayan telah mengingatkan saya bahwa mendaki gunung merupakan kegiatan yang bersiko, dan bisa menyebabkan kematian. Oleh karena itu, mendakilah dengan bijaksana. Mendakilah dengan persiapan, pengetahuan dan perencanaan.